Perbedaan Kesepihan dan Kesendirian oleh Bernadia Dwiyani

Perbedaan Kesepihan dan Kesendirian Oleh Bernadia Dwiyani

Perbedaan Kesepihan dan Kesendirian oleh Bernadia Dwiyani

Perbedaan Kesepihan dan Kesendirian

Oleh: Bernadia Dwiyani

Dalam keseharian kita banyak disibukkan dengan serangkaian aktivitas dengan jadwal yang
padat. Kita seringkali mendambakan waktu tenang, sendiri, dan menikmati momen kecil yang
terjadi di sekitar atau bahkan menjauh dari hiruk pikuk dan atau stimulus berlebihan yang berasal
dari luar diri. Namun apakah kita merasa sepenuhnya tenang? Atau yang muncul adalah pikiran-
pikiran yang bercampur aduk dan lagi-lagi kita memilih untuk menyibukkan diri?

Faktanya tidak mudah bagi banyak orang untuk menyendiri tanpa melakukan apa-apa. Pada
penelitian yang dilakukan tim psikolog Timothy, dkk (2014) menghasilkan bahwa banyak orang
memilih untuk mendapatkan kejut listrik dibandingkan duduk sendiri bersama dengan pikirannya
dalam kurun waktu 15 menit. Partisipan menyatakan bahwa saat menyendiri pikiran datang,
berakumulasi, dan menghasilkan siklus yang melelahkan. Partisipan jauh memilih untuk
melakukan banyak aktivitas eksternal dibandingkan tidak melakukan apa-apa, walaupun itu
berupa aktivitas negatif. Padahal, banyak peneliti menyatakan bahwa menyendiri dapat
berdampak positif pada peningkatan emosi positif dan membantu menenangkan diri.

Pada podcast bersama Thuy-vy Nguyen, Phd, Netta Weinstein, Phd, dan Kim Mills yang
berjudul “Speaking of Psychology: The benefit of Solitude” (2024) membahas lebih dalam hasil
penelitian dari Solitude Lab. Pertama-tama penting untuk kita memahami perbedaan arti
menyendiri dan kesepian. Menyendiri adalah kegiatan yang dilakukan tanpa interaksi dengan
orang lain. Kesepian menurut Taylor, dkk (2023) adalah kondisi subjektif sebagai bentuk
ketidakpuasan pada kualitas atau kuantitas hubungan sosial yang dimiliki. Kesepian banyak
dihubungkan dengan berbagai bentuk masalah psikis dan fisik yang tentunya dapat memengaruhi
kualitas hidup manusia. Salah satu contoh nyata yang pernah saya rasakan misalnya tetap merasa
kesepian walaupun saat berada ditengah banyak orang.

Sayangnya menyendiri atau kesendirian seringkali dipandang menjadi sesuatu yang negatif dan
berkaitan dengan kondisi sedih atau gagal. Namun, hal ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu
yang menggunakan pengasingan atau “kesendirian” sebagai bentuk dari hukuman. Atau bahkan
hukuman yang sampai saat ini masih sering kita gunakan untuk mendisiplinkan anak berupa
waktu sendiri atau time-out. Sehingga tidak heran apabila kesendirian dapat menjadi tantangan
yang besar bagi banyak orang. Hasil dari Solitude Lab mendukung fakta tersebut bahwa dalam
kesendirian terjadi peningkatan emosi berupa emosi cemas, stress, atau marah pada beberapa
partisipan.

Di usia 18 hingga 40 tahun, pencetus teori perkembangan psikososial Erik Erikson menjelaskan
bahwa hal terpenting bagi manusia adalah intimasi versus isolasi. Di rentang usia tersebut
manusia berfokus untuk membangun hubungan yang romantis atau intim dengan orang lain.

Apabila mereka berhasil maka mereka akan memiliki hubungan yang memuaskan dan di sisi lain
saat mereka gagal mereka akan merasa terisolasi dan kesepian. Hubungan romantis dapat berupa
kedekatan seperti pertemanan atau percintaan, sedangkan kesepian dan pengasingan dikaitkan
dengan trauma, ketakutan akan komitmen, hubungan masa lalu yang kurang menyenangkan, dan
kesulitan untuk menerima diri sendiri. Erikson memperkuat fakta adanya dorongan besar untuk
berinteraksi dan menjalin hubungan pada manusia sebagai bagian dari perkembangan
psikososial.

Jadi apakah kita masih butuh waktu menyendiri? Lalu bagaimana kita menikmati waktu
menyendiri?

Nguyen dan Weinstein menyatakan bahwa menyendiri adalah kegiatan yang bermakna bagi diri.
Proses menyendiri membantu seseorang untuk berefleksi, faktor penting bagi pembentukan
identitas khususnya di usia remaja. Namun, hal ini sulit dilakukan apabila kita menyendiri tetapi
menyibukkan diri dengan sosial media. Memang tidak mudah untuk mengatur pikiran terlebih
saat kita terbiasa disibukkan dengan distraksi dari faktor eksternal. Oleh karena itu menyendiri
baiknya juga disertai dengan berlatih kesadaran penuh atau mindfulness. Hal ini dapat
menempatkan kita sebagai pemilik dari otak dan memampukan diri untuk mengontrol dan tidak
terbawa pada siklus pikiran. Kita dapat memulai dengan bermeditasi pada pagi hari dengan
kurun waktu singkat sebelum memulai hari. Sebagai pengingat bahwa kesendirian adalah ruang
untuk membangun hubungan sehat bagi diri. Mari belajar bersama menikmati seni menyendiri!

 

References
Nguyen, Thuy-vy., Weinsten, Netta., Mills, Kim(host). “Speaking of Psychology: The benefit of Solitude.” Episode
289, American Psychological Association, Jue. 2024. https://www.apa.org/news/podcasts/speaking-of-
psychology/solitude

Taylor, H.O., Cudjoe, T.K., Bu, F. et al. The state of loneliness and social isolation research: current knowledge and
future directions. BMC Public Health 23, 1049 (2023). https://doi.org/10.1186/s12889-023-15967-3

Timothy D. Wilson et al.Just think: The challenges of the disengaged mind.Science345,75-
77(2014).DOI:10.1126/science.1250830

Tinggalkan pesan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *