Menunjukkan Vulnerability, Boleh Enggak Sih?

Menunjukkan Vulnerability, Boleh Enggak Sih

Menunjukkan Vulnerability, Boleh Enggak Sih?

Bagi sebagian orang, menunjukkan vulnerability (kelemahan diri karena kesedihan atau kegalauan diri) bukanlah hal mudah. Tapi bagian sebagian orang justru sebaliknya, ia harus selalu menunjukkan pada orang lain. Lalu, sebenarnya mana yang lebih baik dilakukan? Merepresi atau justru terbuka menunjukkan vulnerability? Yuk, cari tahu lebih dalam pada tulisan di bawah ini:

 

Yang akan kamu baca dari artikel ini:

  • Vulnerability secara sadar memilih untuk enggak menyembunyikan emosi atau keinginan dari orang lain sehingga dapat mengekspresikan perasaan, keinginan, dan pendapat tanpa rasa takut. 
  • Vulnerability yang direpresi dan yang diumbar sama-sama enggak baik untuk diri.

Daftar isi:

  • Pengertian vulnerability
  • Lalu, apakah menunjukkan vulnerability adalah sebuah kesalahan?
  • Mindfulness dan vulnerability

 

Vulnerability adalah….

Dari perspektif psikologi, vulnerability adalah kondisi seseorang yang secara sadar bersedia untuk terbuka terhadap keadaan emosional yang dimiliki, seperti merasa sedih, cemas, malu, dan insecure. Seperti ketika kamu mengungkapkan perasaan kecewamu kepada seseorang karena mendapatkan kebohongan yang tidak bisa kamu terima, maka dengan vulnerability kamu akan terbuka untuk memperlihatkannya.

 

Sewaktu kecil, mungkin kamu merasa mudah untuk mengatakan dan mengekspresikan apapun yang kamu rasakan. Namun, di usia yang sudah beranjak dewasa,  seseorang akan cenderung menutup diri dan memilih diam sebagai alternatif dalam menampung perasaannya. Hal itu dikarenakan banyaknya persepsi dari masyarakat yang menganggap bahwa vulnerable adalah suatu kelemahan. Untuk itu, banyak di antara kita yang memilih untuk terlihat baik-baik saja di tengah realita yang enggak sedang baik-baik saja. Akhirnya kamu merepresi vulnerability dalam diri. 

 

Lalu, apakah menunjukkan vulnerability adalah sebuah kesalahan?

Walaupun kerap dianggap sebagai sebuah kelemahan, menunjukkan vulnerability justru dapat membuatmu menjadi sosok yang lebih percaya diri karena telah berhasil memvalidasi perasaanmu sendiri. Asumsi lemah dalam menunjukkan vulnerability sebetulnya hanya sebuah stereotipe yang dipercayai oleh masyarakat secara turun-temurun yang dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan dalam mengolah emosi dan perasaan. 

 

Tapi…

Jangan sampai kamu justru mengumbar vulnerability diri sampai enggak tahu batasnya. Dengan keberadaan media sosial sekarang ini, banyak orang yang mudah sekali menunjukkan vulnerability secara berlebihan semata-mata ingin mendapatkan banyak perhatian. Tanpa sadar, orang yang mengumbar vulnerability bisa bergantung pada orang lain dan merasa selalu membutuhkan orang lain untuk membuatnya merasa lebih baik. Padahal, yang bertugas untuk membuat diri merasa lebih baik adalah diri kita sendiri.

 

Mindfulness dan vulnerability

Intinya, merepresi atau mengumbar vulnerability enggak akan berujung baik untuk diri sendiri. Oleh sebab itu, kita butuh mindfulness untuk dapat menyadari bagaimana bisa menelaah kapan butuh menunjukkan vulnerability dan merasa vulnerable. Faktanya, praktik-praktik mindfulness bisa membantu kita belajar meregulasi emosi sehingga bisa mengenal diri lebih baik dan pada akhirnya tahu kapan diri butuh menunjukkan vulnerability dan kapan tidak.

 

Berlatih #StopAnd yaitu memberikan jeda pada diri ketika ada emosi-emosi yang dirasakan jadi cara pertama dan utama untuk dapat mengenali diri. Dalam jeda, kita bisa mendapatkan kejernihan pikiran sehingga membantu kita menelaah seberapa perlu menunjukkan vulnerability saat ini. Dalam jeda, kita juga bisa belajar untuk enggak menghakimi (non-judgment) emosi-emosi yang dirasakan seperti misalnya menilai emosi sedih atau galau adalah emosi yang buruk sehingga perlu dihindari.

 

Nah untuk menumbuhkan kesadaran dalam jeda, berbagai pertanyaan pun bisa dimunculkan:

 

“Apa yang aku rasakan saat ini, apakah sedih, marah, kecewa?”

“Kenapa aku merasakan emosi ini?”

“Apakah perasaan vulnerable ini bisa aku hadapi seorang diri?”

“Atau..apakah aku butuh menunjukkan emosi ini pada orang lain? Kenapa?”

 

Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam perenungan, kita bisa menyadari seberapa butuh menunjukkan perasaan pada orang lain atau apakah kita sebenarnya sedang berusaha menyangkal perasaan-perasaan tersebut. Ingatlah bahwa hidup berkesadaran adalah hidup berada di “tengah”. Dalam topik vulnerability ini artinya enggak terlalu menyembunyikan atau  terlalu menunjukkan perasaan.

 

Tinggalkan pesan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *